Oleh: Rizaldi
A. Pendahuluan
Perubahan dan tradisi merupakan dua kata yang mengandung arti kontroversial, perubahan selalu menginginkan pada sesuatu yang baru, sedangkan tradisi menghendaki sesuatu yang abadi sepanjang masa. Perubahan merupakan fenomena alam yang yang tak dapat dihidari, dihalangi dan tak perlu ditakuti; yang penting di sini adalah kita harus menyadari bahwa sesuatu itu akan berubah pada masanya, seperti yang dinyatakan Frederick Engels, bahwa alam pisik, sejarah manusia, intelek manusia tidak ada yang tetap seperti keadaan semula, tapi selalu bergerak, dan berubah keadaanya. (Robert H. Lauer, 1989:9-10). Oleh karena itu, musik sebagai bagian dari pruduk budaya manusia juga akan berubah sesuai dengan zamannya.
Dalam artikel yang pendek ini, penulis hanya membicarakan perubahan-perubahan yang dapat dilihat dalam kasus musik tradisional Melayu “diatonis” seperti musik Melayu Deli dan musik Gamat Minangkabau. Kedua jenis musik ini bila ditoleh latar belakang historisnya, lahir dari hasil perkawinan antar budaya lokal dan global (Barat) yang biasa disebut dengan istilah budaya akulturasi. Contoh musik lain yang sejenis dengan musik ini yang dapat kita tunjukan adalah musik Keroncong, Dondang Sayang, dan Gazal. Ciri-ciri pengaruh budaya Barat (Eropa) yang dapat ditunjukan pada kelima jenis musik yaitu pengunaan biola sebagai salah satu instrumen pembawa melodi, tapi teknik sajian musikalnya dipengaruhi oleh budaya musik lokal setempat yang kaya dengan melodi-melodi improvisasi.
Biasanya persepsi masyarakat bila dikaitkan dengan musik Melayu (musik tradisional Melayu), yang tergambar dalam pikirannya adalah musik Melayu Deli yang ada di Kota Medan atau musik Melayu Asli Malaysia; yang membawakan lagu-lagu lemah gemulai dengan syair pantun berhiba-hiba diiringi biola, akordeon, gendang, dan gong seperti lagu Tudung Periuk, Damak dan Dondang Sayang; atau lagu-lagu joget dengan tempo cepat seperti Tanjung Katung dan Hitam Manis. Akan tetapi, pada masa jayanya lagu-lagu tersebut, masyarakat setempat belum menyebutnya sebagai musik tradisi, tapi sebagai musik modern ( Mohd. Zain Hj. Hamzah dalam Wan Abdul Kadir, 1988:86). Sejak tahun 1920-an jenis lagu-lagu ini sangat populer dan digemari masyarakat sebagai sarana hiburan komersial untuk memeriahkan hari pesta perkawinan atau kegiatan keramaian lainnya di kota-kota besar di Malaysia.
Sekarang jenis lagu-lagu ini dikategorikan sebagai lagu-lagu tradisional masyarakat Melayu yang perlu dipelihara dan diwariskan secara turun-temurun kepada generasi muda sepanjang masa. Salah satu cara yang sudah biasa dilakukan bagi masyarakat pemiliknya adalah dengan melakukan festival lagu Melayu tingkat lokal maupun nasional di kota-kota besar Pulau Sumatera seperti Medan, Pekanbaru, Padang, Bengkulu dan Palembang. Namun demikian, ada persoalan penting yang perlu dipikirkan lagi yaitu apakah dengan mengadakan festival tersebut sudah cukup untuk melanggengkan warisan budaya ini masa mendatang? Lalu bagaimana lagi kiat yang paling tepat dalam melakukan pemeliharaan lagu-lagu tradisional tersebut agar lebih dinamis dan abadi sepanjang masa? Inilah persoalan yang perlu kita pikirkan bersama.
Ada dua cara yang bisa dilakukan dalam hal ini, pertama memelihara tanpa mengubah sama sekali seperti benda-benda kebudayaan yang disimpan dalam museum. Kedua, memelihara dengan cara memoles pada bagian-bagian tertentu agar lebih menarik Langkah pemeliharaan dengan cara pertama sudah dilkukan dengan mengadakan festival secara berkala atau merekam kembali lagu-lagu tradisi tersebut di studio sebagaimana adanya. Langkah pemeliharaan dengan cara kedua memang memerlukan kreatifitas yang tinggi, peka dan tanggap terhadap terhadap nilai musikal tradisi Melayu. Oleh karena itu, memang tidak gampang mengubah tradisi tanpa merusak nilainya. Untuk mewujudkannya perlu pertimbangan yang matang, hanya kreator musik (komposer dan anranger) yang arif dan bijaklah yang diperlukan menangani masalah ini. Di sinilah diperlukan para kreator seni yang cerdas secara akademik untuk melakukan “ubah-suai” terhadap lagu tradisional Melayu agar abadi sepanjang masa.
B. Unsur Utama Dalam Musik Melayu
Ada tiga unsur utama yang perlu diketahui dalam ensambel musik Melayu yaitu (1) teks atau syair lagu, (2) melodi vokal, dan (3) musik pengiring, tapi dalam artikel ini kita hanya membicarakan tentang musik pengiring dalam konteks aransemen.
Teks atau seni kata lagu Melayu pada umumnya disusun dalam bentuk pantun meafor, dimana maksud yang ingin disampaikan selalu berbentuk kiasan baik dalam lagu yang bersifat sedih maupun lagu gembira. Melodi vokal merupakan bagian inti dari struktur musik Melayu, yang konstruksi bangunan melodinya pada umumnya disusun dalam bentuk lagu dua bagian atau bentuk A B (Karl-Edmund Prier SJ, 1996:7). Kemudian, unsur musik pengiring dalam lagu tradisional Melayu bentuknya sangat sederhana sekali yaitu unsur pengiring melodis dan perkusif. Pengiring melodis dimainkan oleh biola dan akodeon, sedangkan pengiring perkusif diperankan oleh gendang dan gong.
Sebenarnya dalam konstruksi bangunan komposisi musik Melayu, antara melodi vokal dan melodi instrumental (musik pengiring melodis)—yang biasa diperankan oleh biola dan akordeon—merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak bisa dipisahkan. Artinya, melodi vokal tidak akan lengkap dinyanyikan jika tidak dihantar lebih dulu oleh melodi instrumen; antara melodi vokal dan melodi instrumental terjalin suatu rantai melodi yang tak boleh putus, ia merupakan satu rangkaian yang utuh. Jika terjadi kesalahan atau kealpaan pada pemain biola dalam memainkan melodi pengntar tersebut, maka penyanyi akan susah masuk. Begitulah dekatnya dan ketatnya hubungan antara melodi vokal dan meoldi instrumental dalam musik Melayu, sehingga bioala dan akordeon disebut juga sebagai “instrumen pembawa melodi” yang berperan sebagai lider (penuntun) bagi penyanyi.
Bentuk struktur musik seperti dijelaskan di atas sudah menjadi pengetahuan bersama (konvensi) bagi kalangan pencinta musik Melayu. Khusus bagi pelaku musik (musisi dan penyanyi) peraturan-peraturan itu sangat mereka ketahui dan harus dikuasai secara praktis. Bagi pemain biola atau pemain akordeon semua kalimat melodi baik yang dimainkan oleh instrumen atau yang dinyanyikan oleh penyanyi harus dikuasai seluruhnya sejak dari awal lagu sampai selesai. Jadi, kalau kita perhatikan antara melodi instrumen yang dimainkan oleh biola dan akordeon dengan melodi vokal yang dibawakan oleh penyanyi berjalan secara paralel; pada saat melodi vokal berjalan, melodi instrumen mengikuti terus dengan pelan sehingga melodi vokal lebih menonjol, tapi pada bagian-bagian tertentu biola dan akordeon memainkan melodi tersendiri sebagai pengantar untuk masuknya lagu. Melodi-melodi tersebut merupakan bagian penting yang menyatu dengan melodi vokal; artinya melodi-melodi tersebut merupakan rambu-rambu bagi si penyanyi. Oleh karena itu, jika seorang transkriptor membuat transkripsi lagu-lagu Melayu dengan notasi lengkap, harus menuliskan bagian-bagian melodi yang diperankan oleh instrumen pembawa melodi, tidak boleh dikosongkan dengan membuat tanda diam (istirahat).
Dalam membuat aransemen sebuah lagu setidak-tidaknya ada tiga tempat penonjolan permainan instrumen sebagai musik pengiring yaitu intro, interlude, dan coda. Intro (introduction) merupakan melodi pendek yang berperan sebagai pembuka sebelum memasuki lagu utama; interlude berupa rangkaian melodi pendek yang disisipkan antara melodi vokal; dan coda adalah melodi pendek yang digunakan sebagai penutup. Ketiga bentuk melodi tersebut bentuknya bebas, dan tidak terikat pada lagu yang akan diiringi (lagu pokok). Maksudnya, aranger (penggubah) boleh membuat melodi lain pada tempat-tempat tersebut, dan boleh juga mengambil dari tema melodi pokok dengan memberi variasi dan sebagainya.
Akan tetapi, melodi-melodi pendek yang digunakan pada musik pengiring lagu Melayu seperti dijelaskan sebelumnya (yang dibawakan oleh instrumen pembawa melodi) tidak sama posisinya dengan intro, interlude dan coda. Melodi-melodi tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dengan melodi vokal dan tidak bisa dipisahkan dan susunannya sudah baku seperti contoh berikut
Notasi 1.
Agar dapat dipahami dengan jelas bagaimana bentuk struktur komposisi lagu Melayu secara tradisional, penulis coba memberikan contoh dengan lagu Sri Mersing, yaitu sebuah lagu Melayu rentak senandung (lambat) yang cukup populer baik di Malaysia maupun di Indonesia. Notasinya sengaja ditulis 2 jalur agar lebih jelas melihat struktur melodinya; jalur atas (garis paranada 1) digunakan untuk melodi vokal (penyanyi) sedangkan jalur bawah (garis paranada 2) dimainkan oleh instrumen pembawa melodi (biola dan akordeon) .Pada notasi lagu Sri Mersing di atas dapat dilihat hubungan antara melodi yang dimainkan instrumen dengan melodi vokal sangat teratur. Pergantian masuk antara melodi instrumen dengan melodi vokal (lagu) tersusun secara seimbang.
Sekarang coba Anda lihat bar 1 dan 2 pada garis paranada yang di bawah. Pada bar 1, 2 tersebut ada serangkaian melodi pengantar yang dimulai pada ketukan ke-3 of beat dan berhenti pada bar 2 ketukan ke tiga. Selanjutnya melodi vokal masuk pada bar 2 ketukan 3 of beat, kemudian disambut lagi oleh kalimat melodi instrumen bagian ke-2 pada bar 3 ketukan 3 of beat sampai bar 4 ketukan ke- 2, dan disambut lagi oleh melodi vokal pada bar 4 ketukan ke-2 of beat sampai bar 7 ketukan ke-2. Kemudian disambut lagi oleh rangkaian melodi instrumen bagian akhir pada bar 7 ketukan ke-3 of beat sampai bar 9 ketukan ke-1, dan diulang kembali ke bar ke-2. Jadi antara melodi instrumen dengan melodi vokal (lagu) bentuknya saling “isi-mengisi” dengan jalinan melodi yang harmonis. Bentuk-bentuk melodi yang dibawakan oleh instrumen tersebut strukturnya sudah baku sebagaimana melodi lagu pada bagian vokal, dan tidak bisa diubah secara total, tapi dapat dikembangkan dengan menambah ornamen melodinya pada bagian-bagian tertentu.
Bentuk dan struktur melodi seperti itu harus dipahami lebih dahulu jika kita ingin membuat sebuah aransemen musik yang materinya diambil dari lagu-lagu Melayu tradisional. Jika kita ingin mengembangkan lagu-lagu tradisional Melayu tanpa merusak nilai musikalnya, pelajarilah lebih dulu bentuk dan strukturnya secara detail.
Barangkali kerja seorang aranger (komposer) ini dapat dianlogikan dengan kerja seorang pelukis wajah (potret). Bagi pelukis wajah setidaknya ada tiga unsur utama yang tidak boleh berubah dari bentuk aslinya yaitu mata, hidung, dan mulut. Jika ketiga unsur ini tidak berubah, orang akan tetap mengetahui wajah siapa yang ada dalam lukisan itu, walaupun bentuk rambut, telinga dan baju sudah diubah menurut kemauan si pelukis. Begitu juga halnya kerja komposer dan aranger, ketahuilah lebih dulu mana unsur yang boleh diubah dan mana yang tidak agar nuansa musikal tradisionalnya tetap dirasakan bagi konsumen. Bentuk-bentuk melodi yang sudah dibahas pada lagu Sri Mersing tadi adalah salah satu contoh komposisi musik tradisional Melayu yang baku, sehingga kalau kita ingin menggubahnya boleh saja asal jangan melodi utamanya.
Coba kita perhatikan sekali lagi notasi lagu Sri Mersing di atas. Pada jalur melodi instrumen (garis paranada 1) ada 3 buah rangkaian kalimat melodi, yang masing-masingnya dibatasi oleh tanda diam (istirahat), begitu juga pada jalur melodi vokal (garis paranada 2), juga terdapat 3 buah rangkaian melodi. Jika diubah atau diganti ketiga rangkaian melodi instrumen di atas dengan bentuk melodi lain, maka lagu Sri Mersing nuansanya akan berubah sama sekali menjadi lagu lain, yang barangkali bisa merusak lagu itu sendiri karena antara melodi instrumen dan melodi vokal (lagu) terjalin hubungan yang sangat ketat, keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh.
Memang sampai saat ini lagu-lagu trdisional Melayu yang sejenis lagu Sri Mersing itu masih abadi bagi selera konsumen seperti lagu, Damak, Gunung Banang, Makan Sirih, Laksamana Mati Dibunuh, Sri Serawak, Sri Banang, dan sebagainya, yang diulang rekamannya oleh produser dengan penyanyi dan aranger yang berbeda.
C. Intro, Interlude, dan Coda dalam Musik Melayu
Para musisi musik tradisional Melayu sebenarnya tidak tahu apa yang dimaksud dengan intro, interlude, dan koda dalam permainan musik. Istilah-istilah ini hanya dipahami oleh kalangan pemusik-pemusik akademeik atau para musisi yang sudah mempelajari pengetahuan musik Barat.
Dalam komposisi lagu Melayu “klasik” istilah seperti intro, interlude, dan koda jarang digunakan, karena memang tidak diperlukan, bentuk tekstur (jalinan melodi) antara melodi instrumen dengan melodi vokal setiap lagu sudah baku seperti pada contoh lagu Sri Mersing. Bagian-bagian melodi yang diperankan oleh instrumen itu harus dikuasai seluruhnya oleh pemusik, termasuk juga melodi bagian vokal. Biasanya pemain biola atau akordeon pada waktu mengiringi penyanyi, melodinya berjalan terus mengikuti melodi vokal dalam bentuk kontrapoint, tapi sebagian ada juga memainkan melodinya hanya pada bagian-bagian pengantar sebelum masuknya lagu (lihat notasi Sri Mersing).
Bentuk komposisi lagu Melayu termasuk bentuk lagu 2 bagian (bentuk A B), melodi bagian A membawakan sampiran pantun lagu dan melodi bagian B membawakan isi pantun lagu. Kalau kita gambarkan bentuk komposisi lagu Melayu itu dalam bentuk skema dapat dilihat sebagai berikut.
Gambar 1.
A B
Dalam contoh skema di atas tampak bahwa antara melodi instrumen dan melodi vokal tersusun secara utuh dalam satu kotak, baik melodi lagu bagian A, maupun melodi lagu bagian B. Kedua melodi tersebut (instrumen dan vokal) saling terikat secara ketat, artinya sipenyanyi harus tahu dengan bentuk-bentuk frase melodi yang dimainkan pemusik sebagai pengantar untuk memulai lagu; sebaliknya, pemusik juga harus tahu pada frase-frase melodi lagu bagian mana ia harus memainkan melodi pengantar untuk masuk pada kalimat lagu baru (lihat lagu Sri Mersing). Karena begitu ketatnya hubungan kedua melodi itu, maka pemusik (pemain biola/ akordeon) biasanya mengiringi melodi vokal terus, agar tidak lupa di tempat mana ia harus muncul memainkan melodi utama sebagai pengantar masuk lagu.
Pada lagu-lagu “pop” para pencipta dan aranger (penggubah musik) tidak puas lagi dengan bentuk-bentuk komposisi lagu sederhana tersebut, mereka juga ingin menonjolkan permainan instrumen pada tempat-tempat tertentu di luar bagian lagu pokok untuk memberikan suasana kontras yang harmonis. Di sinilah peran intro, interlude, dan koda dapat dimasukkan sebagai melodi tambahan untuk memperindah gubahan lagu itu. Posisi intro, interlude, dan koda dalam komposisi musik mempunyai tempat tersendiri seperti contoh skema berikut
Para penggubah lagu-lagu tradisonal Melayu sekarang pada umumnya memakai pola sepeti skema di atas, tapi garapan melodi yang digunakan untuk intro masih berkaitan dengan lagu pokok. Melodi intro mereka ambil dari lagu bagian B secara utuh yang dimainkan secara instrumental; selanjutnya untuk interlude diambil kembali melodi bagian intro, dan melodi untuk bagian koda, diambil dari kalimat lagu B bagian akhir.
Sesungguhnya para penggubah lagu Melayu boleh saja membuat bentuk melodi lain secara kreatif pada bagian intro, interlude, dan koda asalkan memberi suasana harmonis terhadap lagu pokok Kemudian, pada melodi bagian vokal, penggubah juga berpeluang membuat melodi baru untuk instrumen yang tidak harus paralel dengan melodi vokal, misalnya dalam bentuk kontrapoint dan sebagainya. Garapan seperti itu banyak kita dengar pada lagu-lagu Melayu yang dinyanyikan oleh Siti Nurhaliza aransemen Pak Ngah. Kita kagum terhadap kemampuan aranger dalam memperbaharui lagu tersebut.
D. Penutup
Perubahan merupakan fenomena alam yang yang tak dapat dihidari, dihalangi dan tak perlu ditakuti; yang penting di sini adalah kita harus menyadari bahwa sesuatu itu akan berubah pada masanya. Oleh karena itu, musik sebagai bagian dari pruduk budaya manusia juga akan berubah sesuai dengan zamannya
Ada dua cara yang bisa dilakukan dalam hal ini, pertama memelihara tanpa mengubah sama sekali seperti benda-benda kebudayaan yang disimpan dalam museum. Kedua, memelihara dengan cara memoles pada bagian-bagian tertentu agar lebih menarik Langkah pemeliharaan dengan cara pertama sudah dilkukan dengan mengadakan festival secara berkala atau merekam kembali lagu-lagu tradisi tersebut di studio sebagaimana adanya. Langkah pemeliharaan dengan cara kedua memang memerlukan kreatifitas yang tinggi, peka dan tanggap terhadap terhadap nilai musikal tradisi Melayu. Oleh karena itu, memang tidak gampang mengubah tradisi tanpa merusak nilainya. Untuk mewujudkannya perlu pertimbangan yang matang, hanya kreator musik (komposer dan anranger) yang arif dan bijaklah yang diperlukan menangani masalah ini. Di sinilah diperlukan para kreator seni yang cerdas secara akademik untuk melakukan “ubah-suai” terhadap lagu tradisional Melayu agar abadi sepanjang masa.
KEPUSTAKAAN
Robert H. Lauer, 1989. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Terj. Alimandan. Bina Aksara, Jakarta.
Wan Abdul Kadir, 1988.Budaya Popular Dalam Masyarakat Melayu Bandaran. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur.
Karl-Edmund Prier SJ, 1996. Ilmu Bentuk Musik. Pusat Musik Liturgi, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar